TEORI KOMUNIKASI DAN PARADIGMA PENELITIAN,
serta Tinjauan Terhadap Analisa Wacana dan Bingkai
Oleh: Morissan, M.A.
Telah lama para ahli berupaya memberikan penjelasan mengenai pengertian 'komunikasi' melalui berbagai teori yang mereka kemukakan. Namun semakin banyak upaya yang dilakukan untuk menjelaskan komunikasi, melalui berbagai penelitian, justru pengertian komunikasi semakin kabur. Namun disinilah letak daya tarik ilmu komunikasi karena selalu membuka peluang untuk diskusi dan argumentasi. Hal ini tentu saja menuntut praktisi komunikasi untuk terus menerus memperbaharui pengetahuannya di bidang ini.
Berbagai perbedaan pandangan mengenai komunikasi disebabkan para ahli komunikasi memiliki ketertarikan yang berbeda-beda terhadap berbagai bidang atau aspek yang tercakup dalam ilmu komunikasi. Para ahli komunikasi juga memiliki pandangan yang tidak sama mengenai hal apa yang menjadi fokus perhatian atau aspek apa dalam komunikasi yang menurut mereka paling penting dalam ilmu komunikasi.
Tidak adanya teori tunggal dalam ilmu komunikasi mendorong kita untuk memiliki suatu metamodel teori komunikasi yang bersifat menyeluruh (komprehensif) yang dapat membantu kita menjelaskan berbagai topik dan asumsi dan membantu kita dalam melakukan pendekatan terhadap berbagai teori yang ada. Metamodel teori komunikasi menyediakan suatu sistem yang kuat bagi kita untuk mengorganisir berbagai teori komunikasi.
Disini, kita menggunakan pandangan Robert T. Craig dalam menjelaskan berbagai teori komunikasi yang jumlahnya banyak itu. Robert Craig membagi dunia teori komunikasi ke dalam tujuh kelompok pemikiran atau tujuh tradisi pemikiran yaitu:[1]
1. Sosiopsikologi (sociopsychological)
2. Sibernetika (cybernetic)
3. Retorika (rhetorical)
4. Semiotika (semiotic)
5. Sosiokultural (sociocultural)
6. Kritis (critical)
7. Fenomenologi (phenomenology)
1. SOSIOPSIKOLOGI
Pemikiran yang berada dibawah naungan sosiopsikologi memandang individu sebagai makhluk sosial. Teori-teori yang berada di bawah tradisi sosiopsikologi memberikan perhatiannya antara lain pada perilaku individu, pengaruh, kepribadian dan sifat individu atau bagaimana individu melakukan persepsi. Sosiopsikologi digunakan dalam topik-topik tentang diri individu, pesan, percakapan, hubungan interpersonal, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat.
2. SIBERNETIKA
Sibernetika memandang komunikasi sebagai suatu sistem dimana berbagai elemen yang terdapat di dalamnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Komunikasi dipahami sebagai sistem yang terdiri dari bagian-bagian atau variabel-variabel yang saling mempengaruhi satu sama lain. Sibernetika digunakan dalam topik-topik tentang diri individu, percakapan, hubungan interpersonal, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat.
3. RETORIKA
Retorika didefinisikan sebagai seni membangun argumentasi dan seni berbicara. Dalam perkembangannya retorika juga mencakup proses untuk ‘menyesuaikan ide dengan orang dan menyesuaikan orang dengan ide melalui berbagai macam pesan’
4. SEMIOTIKA
Semiotika memandang komunikasi sebagai proses pemberian makna melalui tanda yaitu bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, dan sebagainya yang berada diluar diri individu. Semiotika digunakan dalam topik-topik tentang pesan, media, budaya dan masyarakat.
5. SOSIOKULTURAL
Cara pandang sosiokultural menekankan gagasan bahwa realitas dibangun melalui suatu proses interaksi yang terjadi dalam kelompok, masyarakat dan budaya. Sosiokultural lebih tertarik untuk mempelajari pada cara bagaimana masyarakat secara bersama-sama menciptakan realitas dari kelompok sosial, organisasi dan budaya mereka. Sosiokultural digunakan dalam topik-topik tentang diri individu, percakapan, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat.
6. KRITIS
Pertanyaan-pertanyaan mengenai kekuasaan (power) dan keistimewaan (privilege) yang diterima kelompok tertentu di masyarakat menjadi topik yang sangat penting dalam teori kritis. Kritis memandang komunikasi sebagai bentuk pemikiran yang menentang ketidakadilan. Tradisi kritis digunakan dalam topik-topik tentang diri individu, pesan, percakapan, hubungan interpersonal, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat.
7. FENOMENOLOGI
Fenomenologi memandang komunikasi sebagai pengalaman melalui diri sendiri atau diri orang lain melalui dialog. Tradisi memandang manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan. Tradisi fenomenologi memberikan penekanan sangat kuat pada persepsi dan interpretasi dari pengalaman subjektif manusia. Pendukung teori ini berpandangan bahwa cerita atau pengalaman individu adalah lebih penting dan memiliki otoritas lebih besar dari pada hipotesa penelitian sekalipun. Fenomenologi digunakan dalam teori-teori tentang pesan, hubungan interpersonal, budaya dan masyarakat.
Berbagai perbedaan yang terkandung dalam masing-masing kelompok tradisi komunikasi tersebut mempengaruhi pada cara melakukan riset atau penelitian komunikasi dan mempengaruhi pilihan teori yang akan digunakan. Setiap teori menggunakan cara atau metode riset yang berbeda yang secara umum dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar paradigma penelitian yaitu objektif dan interpretatif.
1. Objektif
Ilmu pengetahuan seringkali diasosiasikan dengan sifatnya yang objektif (objectivity) yang berarti bahwa pengetahuan selalu mencari standarisasi dan kategorisasi. Dalam hal ini, para peneliti melihat dunia sedemikian rupa sehingga peneliti lain yang menggunakan cara atau metode melihat yang sama akan menghasilkan kesimpulan yang sama pula. Dengan kata lain, suatu replikasi atau penelitian yang berulang-ulang akan selalu menghasilkan kesimpulan yang persis sama sebagaimana penelitian dalam ilmu pengetahuan alam (natural sciences). Penelitian yang menggunakan metode objektif sering disebut dengan penelitian empiris (scientific scholarship) atau positivis. Perlu ditegaskan disini bahwa apa yang dikenal selama ini sebagai tipe penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif masuk dalam kategori penelitian objektif positivis ini.
2. Interpretatif
Mereka yang menggunakan pendekatan ini sering disebut dengan humanistic scholarship. Jika metode objektif (penelitian kuantitatif/kualitatif) bertujuan membuat standarisasi observasi maka metode subjektif (penelitian interpretatif) berupaya menciptakan interpretasi. Jika ilmu pengetahuan berupaya untuk mengurangi perbedaan diantara para peneliti terhadap objek yang diteliti maka para peneliti humanistik berupaya untuk memahami tanggapan subjektif individu. Pendekatan interpretatif memandang metode penelitian ilmiah tidaklah cukup untuk dapat menjelaskan 'misteri' pengalaman manusia sehingga diperlukan unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian. Kebanyakan mereka yang berada dalam kelompok ini lebih tertarik pada kasus-kasus individu daripada kasus-kasus umum.
Berdasarkan klasifikasi teori komunikasi oleh Robert Craig tersebut, yang manakah dari ketujuh tradisi teori komunikasi tersebut yang memiliki sifat objektif dan yang manakah yang bersifat interpretatif. Dalam hal ini, kita dapat menggunakan pandangan Griffin melalui peta tradisi teori komunikasi sebagai berikut:
Sumber: EM Griffin, dan Glen McClish (special consultant), A First Look At Communication Theory, Fifth Edition, McGraw Hill, 2003. Hal 33.
Berdasarkan peta tersebut di atas maka kelompok teori komunikasi yang paling objektif adalah Sosisopsikologi sedangkan kelompok teori yang paling subjektif interpretatif adalah fenomenologi, sosiokultural dan kritis. Pertanyaanya sekarang adalah:
SEBERAPA JAUH PANDANGAN SUBJEKTIF DAPAT MASUK KE DALAM PENELITIAN INTERPRETATIF?
Dalam hal ini terdapat dua pandangan subjektif yaitu:
1) Pandangan subjektif dari objek penelitian yaitu manusia
a. Dalam penelitian interpretatif, tidak ada batasan mengenai seberapa jauh pandangan subjektif objek penelitian dapat masuk ke dalam penelitian karena tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana objek penelitian memandang dirinya dan lingkungannya. Dalam penelitian kualititatif keterangan narasumber yang salah atau keliru dapat diabaikan, namun penelitian interpretatif tidak mempersoalkan benar atau salah.
b. Dalam penelitian interpretatif, peneliti berupaya mengumpulkan data mengenai objek penelitian (manusia) melalui pengamatan (observasi), wawancara dan sebagainya. Dalam hal ini, peneliti haruslah bersikap seobjektif mungkin. Dengan kata lain, sebagaimana penelitian objektif, peneliti harus membangun konsensus terlebih dulu mengenai apa yang akan diteliti atau diamatinya (fokus penelitian).
2) Pandangan subjektif peneliti.
Setelah data diperoleh secara cermat dan objektif, maka data tersebut harus dijelaskan dan diinterpretasikan, dan disinilah pandangan subjektif peneliti dapat masuk, sebagaimana dikemukakan Littlejohn dan Foss: "Once behavioral phenomena are accurately observed, they must be explained and interpreted -and here's where the humanistic part come in".
Salah satu bentuk laporan di bidang komunikasi yang sering dibuat dan seringkali diklaim sebagai penelitian interpretatif adalah apa yang disebut dengan analisis wacana (discourse analysis) dan analisis bingkai (framing analysis).
§ Analisa wacana memfokuskan perhatian pada percakapan (lisan atau teks) untuk mengetahui kondisi struktur sosial yang ada melalui percakapan misalnya antara ibu dan anak, antara buruh pabrik dll) dengan mengidentifiaksi berbagai kategori, ide, pandangan dan sebagainya berdasarkan transkrip percakapan yang diamatinya.
§ Analisa framing memfokuskan perhatian pada bagaimana media massa mengelola ide dan isi berita dan menunjukkan apa yang menjadi isu melalui pemilihan, penekanan, penyisihan dan uraian berita.
Hal yang banyak menimbulkan perdebatan adalah......
APAKAH ANALISIS WACANA (DISCOURSE ANALYSIS) DAN ANALISIS BINGKAI (FRAMING ANALYSIS) DAPAT DIKATEGORIKAN SEBAGAI PENELITIAN INTERPRETATIF ATAUKAH HANYA MERUPAKAN SUATU BENTUK ANALISIS SAJA?
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jika terdapat fokus perhatian mengenai apa yang akan diteliti atau diamati, dan jika terdapat kegiatan pengumpulan data mengenai objek penelitian (manusia) melalui pengamatan (observasi), wawancara dan sebagainya dan peneliti bertindak seobjektif mungkin, maka dapat dikatakan analisis wacana dan framing masuk dalam kategori penelitian (interpretatif), namun jika tidak ada, maka keduanya tidak dapat masuk dalam kategori penelitian interpretatif namun hanya masuk dalam kategori analisis saja.
Namun demikian, kedua bentuk analisis ini sering kali menimbulkan kritik tajam bahwa semuanya bisa dibuat atau semuanya bisa masuk ("anything goes") melalui kedua entuk laporan analisis tersebut. Apa yang disebut sebagai analisis wacana dan analisis bingkai seringkali dalam banyak kasus bahkan, sebenarnya, tidak layak masuk dalam kategori analisis karena tidak memenuhi syarat sebagai analisis karena tidak adanya aturan yang jelas dalam melakukan analisa. Setidaknya inilah pandangan yang dikemukakan Charles Antaki, Michael Billig dan rekan dari Department of Social Sciences, Loughborough University, Inggris dalam paper mereka berjudul Discourse Analysis Means Doing Analysis: A Critique Of Six Analytic Shortcomings.[2]
Menurut Antaki, Billig dan rekan setidaknya ada lima kekurangan atau kelemahan yang sering terjadi dalam penulisan analisis wacana (dan juga bingkai) sebagai berikut:[3]
1. Bukan analisa jika meringkas transkrip (Under-Analysis Through Summary).
Menurut Antaki dan Billig, analisis wacana (dan juga framing) harus menyediakan transkrip, teks dan percakapan secara lengkap, sebagai sumber data yang akan diteliti. Transkrip tidak boleh dirangkum atau diringkas. Namun seringkali transkrip dirangkum atau diringkas dan kemudian berfungsi sebagai pengganti analisa. Antaki dan Billig mengingatkan bahwa transkrip hanya berfungsi sebagai penyedia data untuk dianalisa dan ringkasan transkrip bukanlah analisa atau pengganti analisa.[4] Seorang analis harus menawarkan sesuatu (gagasan atau ide) dari transkrip dan bukan sekedar penjelasan atau ringkasan transkrip.
2. Bukan analisa jika berpihak (Under-Analysis Through Taking Sides).
Dalam banyak laporan analisa wacana dan bingkai, sering kita melihat dan merasakan adanya pandangan moral, politik dan pribadi dari penulisnya ketika mengomentari kutipan pembicaraan atau teks. Laporan yang memuat pandangan moral, politik dan pribadi dari penulis tidak bisa disebut dengan analisis. Pandangan penulis yang bernada simpati atau mengejek tidak menjadikan apa yang ditulisnya menjadi suatu analisa (wacana atau bingkai).[5]
3. Bukan analisa jika bersifat mengeneralisir (Under-Analysis through False Survey).
Pelaku analisis wacana dan framing sering terjebak dalam tindakan 'berbahaya' yaitu menjadikan suatu temuan kasuistis individual sebagai sesuatu yang berlaku umum. Jika terdapat temuan yang melibatkan mahasiswa di suatu universitas, misalnya, maka hal itu juga ditulis seolah-olah berlaku bagi mahasiswa lainnya di universitas lainnya.[6]
4. Analisa tidak ditentukan dari banyaknya detail (Under-Analysis through Spotting)
Suatu analisa wacana menuntut perhatian terhadap detail atau hal-hal kecil dari ucapan atau teks namun tidak berarti besarnya perhatian terhadap aspek detail menjadikan laporan sebagai suatu analisis.
5. Analisa tidak ditentukan dari banyak kutipan (Under-Analysis Through Over-Quotation or Isolated Quotation)
Jumlah kutipan yang diambil dari transkrip tidak boleh terlalu banyak yang dapat mengurangi porsi pandangan atau komentar penulis, tetapi juga tidak boleh terlalu sedikit yang berfungsi hanya sekedar memperkuat pandangan penulis.[7]
KESIMPULAN
1. Penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penelitian ilmiah yang terdiri atas penelitian kuantatif dan penelitian kualitatif serta penelitian interpretatif.
2. Faktor subyektif dalam penelitian interpretatif hanya boleh dilakukan oleh objek penelitian dan membatasi subjektivitas pada diri peneliti.
3. Analisis wacana dan bingkai lebih merupakan bentuk analisa saja.
SARAN
1. Perlunya sosialisasi terhadap penelitian interpretatif di kalangan dosen dan mahasiswa.
2. Perlunya sosialisasi terhadap perbedaan penelitian interpretatif dengan analisis di kalangan dosen dan mahasiswa.
[1] Robert T Craig, Communication Theory As a Field, Communication Theory 9, 1999.
[2] Untuk mendapatkan paper mereka dapat diakses di http://www.lboro.ac.uk/ departments/ss/centres/ dargindex.htm.
[3] Dalam hal ini, Antaki an Billig hanya menyoroti analisis wacana, namun menurut penulis, analisis bingkai juga dapat dimasukkan kedalamnya.
[4] Sebagaimana dikemukakan Antaki dan Billig: "For our purposes here, however, we mean to warn against the notion that transcription can be a replacement of, or substitute for, analysis. Transcription prepares the data for analysis. However, it is not analysis in itself."
[5] Sebagaimana dikemukakan Antaki dan Billig: "What we do insist upon, however, is that position-taking - whether analysts align themselves with, or critically distance themselves from, the speakers whom they are studying - is not analysis in itself. Sympathy and scolding (either explicit or implicit) are not a substitute for analysis."
[6] Sebagaimana dikemukakan Antaki dan Billig: "It is fatally easy to slip into treating one's findings as if they were true of all members of the category in which one has cast one's respondents."
[7] Sebagaimana dikemukakan Antaki dan Billig "Under-Analysis through Over-Quotation is often revealed by a low ratio of analyst's comments to data extracts. If extract after extract is quoted with only the occasional sentence or paragraph of analyst's comment, then one might suspect this type of under-analysis is happening."
serta Tinjauan Terhadap Analisa Wacana dan Bingkai
Oleh: Morissan, M.A.
Telah lama para ahli berupaya memberikan penjelasan mengenai pengertian 'komunikasi' melalui berbagai teori yang mereka kemukakan. Namun semakin banyak upaya yang dilakukan untuk menjelaskan komunikasi, melalui berbagai penelitian, justru pengertian komunikasi semakin kabur. Namun disinilah letak daya tarik ilmu komunikasi karena selalu membuka peluang untuk diskusi dan argumentasi. Hal ini tentu saja menuntut praktisi komunikasi untuk terus menerus memperbaharui pengetahuannya di bidang ini.
Berbagai perbedaan pandangan mengenai komunikasi disebabkan para ahli komunikasi memiliki ketertarikan yang berbeda-beda terhadap berbagai bidang atau aspek yang tercakup dalam ilmu komunikasi. Para ahli komunikasi juga memiliki pandangan yang tidak sama mengenai hal apa yang menjadi fokus perhatian atau aspek apa dalam komunikasi yang menurut mereka paling penting dalam ilmu komunikasi.
Tidak adanya teori tunggal dalam ilmu komunikasi mendorong kita untuk memiliki suatu metamodel teori komunikasi yang bersifat menyeluruh (komprehensif) yang dapat membantu kita menjelaskan berbagai topik dan asumsi dan membantu kita dalam melakukan pendekatan terhadap berbagai teori yang ada. Metamodel teori komunikasi menyediakan suatu sistem yang kuat bagi kita untuk mengorganisir berbagai teori komunikasi.
Disini, kita menggunakan pandangan Robert T. Craig dalam menjelaskan berbagai teori komunikasi yang jumlahnya banyak itu. Robert Craig membagi dunia teori komunikasi ke dalam tujuh kelompok pemikiran atau tujuh tradisi pemikiran yaitu:[1]
1. Sosiopsikologi (sociopsychological)
2. Sibernetika (cybernetic)
3. Retorika (rhetorical)
4. Semiotika (semiotic)
5. Sosiokultural (sociocultural)
6. Kritis (critical)
7. Fenomenologi (phenomenology)
1. SOSIOPSIKOLOGI
Pemikiran yang berada dibawah naungan sosiopsikologi memandang individu sebagai makhluk sosial. Teori-teori yang berada di bawah tradisi sosiopsikologi memberikan perhatiannya antara lain pada perilaku individu, pengaruh, kepribadian dan sifat individu atau bagaimana individu melakukan persepsi. Sosiopsikologi digunakan dalam topik-topik tentang diri individu, pesan, percakapan, hubungan interpersonal, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat.
2. SIBERNETIKA
Sibernetika memandang komunikasi sebagai suatu sistem dimana berbagai elemen yang terdapat di dalamnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Komunikasi dipahami sebagai sistem yang terdiri dari bagian-bagian atau variabel-variabel yang saling mempengaruhi satu sama lain. Sibernetika digunakan dalam topik-topik tentang diri individu, percakapan, hubungan interpersonal, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat.
3. RETORIKA
Retorika didefinisikan sebagai seni membangun argumentasi dan seni berbicara. Dalam perkembangannya retorika juga mencakup proses untuk ‘menyesuaikan ide dengan orang dan menyesuaikan orang dengan ide melalui berbagai macam pesan’
4. SEMIOTIKA
Semiotika memandang komunikasi sebagai proses pemberian makna melalui tanda yaitu bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, dan sebagainya yang berada diluar diri individu. Semiotika digunakan dalam topik-topik tentang pesan, media, budaya dan masyarakat.
5. SOSIOKULTURAL
Cara pandang sosiokultural menekankan gagasan bahwa realitas dibangun melalui suatu proses interaksi yang terjadi dalam kelompok, masyarakat dan budaya. Sosiokultural lebih tertarik untuk mempelajari pada cara bagaimana masyarakat secara bersama-sama menciptakan realitas dari kelompok sosial, organisasi dan budaya mereka. Sosiokultural digunakan dalam topik-topik tentang diri individu, percakapan, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat.
6. KRITIS
Pertanyaan-pertanyaan mengenai kekuasaan (power) dan keistimewaan (privilege) yang diterima kelompok tertentu di masyarakat menjadi topik yang sangat penting dalam teori kritis. Kritis memandang komunikasi sebagai bentuk pemikiran yang menentang ketidakadilan. Tradisi kritis digunakan dalam topik-topik tentang diri individu, pesan, percakapan, hubungan interpersonal, kelompok, organisasi, media, budaya dan masyarakat.
7. FENOMENOLOGI
Fenomenologi memandang komunikasi sebagai pengalaman melalui diri sendiri atau diri orang lain melalui dialog. Tradisi memandang manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan. Tradisi fenomenologi memberikan penekanan sangat kuat pada persepsi dan interpretasi dari pengalaman subjektif manusia. Pendukung teori ini berpandangan bahwa cerita atau pengalaman individu adalah lebih penting dan memiliki otoritas lebih besar dari pada hipotesa penelitian sekalipun. Fenomenologi digunakan dalam teori-teori tentang pesan, hubungan interpersonal, budaya dan masyarakat.
Berbagai perbedaan yang terkandung dalam masing-masing kelompok tradisi komunikasi tersebut mempengaruhi pada cara melakukan riset atau penelitian komunikasi dan mempengaruhi pilihan teori yang akan digunakan. Setiap teori menggunakan cara atau metode riset yang berbeda yang secara umum dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar paradigma penelitian yaitu objektif dan interpretatif.
1. Objektif
Ilmu pengetahuan seringkali diasosiasikan dengan sifatnya yang objektif (objectivity) yang berarti bahwa pengetahuan selalu mencari standarisasi dan kategorisasi. Dalam hal ini, para peneliti melihat dunia sedemikian rupa sehingga peneliti lain yang menggunakan cara atau metode melihat yang sama akan menghasilkan kesimpulan yang sama pula. Dengan kata lain, suatu replikasi atau penelitian yang berulang-ulang akan selalu menghasilkan kesimpulan yang persis sama sebagaimana penelitian dalam ilmu pengetahuan alam (natural sciences). Penelitian yang menggunakan metode objektif sering disebut dengan penelitian empiris (scientific scholarship) atau positivis. Perlu ditegaskan disini bahwa apa yang dikenal selama ini sebagai tipe penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif masuk dalam kategori penelitian objektif positivis ini.
2. Interpretatif
Mereka yang menggunakan pendekatan ini sering disebut dengan humanistic scholarship. Jika metode objektif (penelitian kuantitatif/kualitatif) bertujuan membuat standarisasi observasi maka metode subjektif (penelitian interpretatif) berupaya menciptakan interpretasi. Jika ilmu pengetahuan berupaya untuk mengurangi perbedaan diantara para peneliti terhadap objek yang diteliti maka para peneliti humanistik berupaya untuk memahami tanggapan subjektif individu. Pendekatan interpretatif memandang metode penelitian ilmiah tidaklah cukup untuk dapat menjelaskan 'misteri' pengalaman manusia sehingga diperlukan unsur manusiawi yang kuat dalam penelitian. Kebanyakan mereka yang berada dalam kelompok ini lebih tertarik pada kasus-kasus individu daripada kasus-kasus umum.
Berdasarkan klasifikasi teori komunikasi oleh Robert Craig tersebut, yang manakah dari ketujuh tradisi teori komunikasi tersebut yang memiliki sifat objektif dan yang manakah yang bersifat interpretatif. Dalam hal ini, kita dapat menggunakan pandangan Griffin melalui peta tradisi teori komunikasi sebagai berikut:
Sumber: EM Griffin, dan Glen McClish (special consultant), A First Look At Communication Theory, Fifth Edition, McGraw Hill, 2003. Hal 33.
Berdasarkan peta tersebut di atas maka kelompok teori komunikasi yang paling objektif adalah Sosisopsikologi sedangkan kelompok teori yang paling subjektif interpretatif adalah fenomenologi, sosiokultural dan kritis. Pertanyaanya sekarang adalah:
SEBERAPA JAUH PANDANGAN SUBJEKTIF DAPAT MASUK KE DALAM PENELITIAN INTERPRETATIF?
Dalam hal ini terdapat dua pandangan subjektif yaitu:
1) Pandangan subjektif dari objek penelitian yaitu manusia
a. Dalam penelitian interpretatif, tidak ada batasan mengenai seberapa jauh pandangan subjektif objek penelitian dapat masuk ke dalam penelitian karena tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana objek penelitian memandang dirinya dan lingkungannya. Dalam penelitian kualititatif keterangan narasumber yang salah atau keliru dapat diabaikan, namun penelitian interpretatif tidak mempersoalkan benar atau salah.
b. Dalam penelitian interpretatif, peneliti berupaya mengumpulkan data mengenai objek penelitian (manusia) melalui pengamatan (observasi), wawancara dan sebagainya. Dalam hal ini, peneliti haruslah bersikap seobjektif mungkin. Dengan kata lain, sebagaimana penelitian objektif, peneliti harus membangun konsensus terlebih dulu mengenai apa yang akan diteliti atau diamatinya (fokus penelitian).
2) Pandangan subjektif peneliti.
Setelah data diperoleh secara cermat dan objektif, maka data tersebut harus dijelaskan dan diinterpretasikan, dan disinilah pandangan subjektif peneliti dapat masuk, sebagaimana dikemukakan Littlejohn dan Foss: "Once behavioral phenomena are accurately observed, they must be explained and interpreted -and here's where the humanistic part come in".
Salah satu bentuk laporan di bidang komunikasi yang sering dibuat dan seringkali diklaim sebagai penelitian interpretatif adalah apa yang disebut dengan analisis wacana (discourse analysis) dan analisis bingkai (framing analysis).
§ Analisa wacana memfokuskan perhatian pada percakapan (lisan atau teks) untuk mengetahui kondisi struktur sosial yang ada melalui percakapan misalnya antara ibu dan anak, antara buruh pabrik dll) dengan mengidentifiaksi berbagai kategori, ide, pandangan dan sebagainya berdasarkan transkrip percakapan yang diamatinya.
§ Analisa framing memfokuskan perhatian pada bagaimana media massa mengelola ide dan isi berita dan menunjukkan apa yang menjadi isu melalui pemilihan, penekanan, penyisihan dan uraian berita.
Hal yang banyak menimbulkan perdebatan adalah......
APAKAH ANALISIS WACANA (DISCOURSE ANALYSIS) DAN ANALISIS BINGKAI (FRAMING ANALYSIS) DAPAT DIKATEGORIKAN SEBAGAI PENELITIAN INTERPRETATIF ATAUKAH HANYA MERUPAKAN SUATU BENTUK ANALISIS SAJA?
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jika terdapat fokus perhatian mengenai apa yang akan diteliti atau diamati, dan jika terdapat kegiatan pengumpulan data mengenai objek penelitian (manusia) melalui pengamatan (observasi), wawancara dan sebagainya dan peneliti bertindak seobjektif mungkin, maka dapat dikatakan analisis wacana dan framing masuk dalam kategori penelitian (interpretatif), namun jika tidak ada, maka keduanya tidak dapat masuk dalam kategori penelitian interpretatif namun hanya masuk dalam kategori analisis saja.
Namun demikian, kedua bentuk analisis ini sering kali menimbulkan kritik tajam bahwa semuanya bisa dibuat atau semuanya bisa masuk ("anything goes") melalui kedua entuk laporan analisis tersebut. Apa yang disebut sebagai analisis wacana dan analisis bingkai seringkali dalam banyak kasus bahkan, sebenarnya, tidak layak masuk dalam kategori analisis karena tidak memenuhi syarat sebagai analisis karena tidak adanya aturan yang jelas dalam melakukan analisa. Setidaknya inilah pandangan yang dikemukakan Charles Antaki, Michael Billig dan rekan dari Department of Social Sciences, Loughborough University, Inggris dalam paper mereka berjudul Discourse Analysis Means Doing Analysis: A Critique Of Six Analytic Shortcomings.[2]
Menurut Antaki, Billig dan rekan setidaknya ada lima kekurangan atau kelemahan yang sering terjadi dalam penulisan analisis wacana (dan juga bingkai) sebagai berikut:[3]
1. Bukan analisa jika meringkas transkrip (Under-Analysis Through Summary).
Menurut Antaki dan Billig, analisis wacana (dan juga framing) harus menyediakan transkrip, teks dan percakapan secara lengkap, sebagai sumber data yang akan diteliti. Transkrip tidak boleh dirangkum atau diringkas. Namun seringkali transkrip dirangkum atau diringkas dan kemudian berfungsi sebagai pengganti analisa. Antaki dan Billig mengingatkan bahwa transkrip hanya berfungsi sebagai penyedia data untuk dianalisa dan ringkasan transkrip bukanlah analisa atau pengganti analisa.[4] Seorang analis harus menawarkan sesuatu (gagasan atau ide) dari transkrip dan bukan sekedar penjelasan atau ringkasan transkrip.
2. Bukan analisa jika berpihak (Under-Analysis Through Taking Sides).
Dalam banyak laporan analisa wacana dan bingkai, sering kita melihat dan merasakan adanya pandangan moral, politik dan pribadi dari penulisnya ketika mengomentari kutipan pembicaraan atau teks. Laporan yang memuat pandangan moral, politik dan pribadi dari penulis tidak bisa disebut dengan analisis. Pandangan penulis yang bernada simpati atau mengejek tidak menjadikan apa yang ditulisnya menjadi suatu analisa (wacana atau bingkai).[5]
3. Bukan analisa jika bersifat mengeneralisir (Under-Analysis through False Survey).
Pelaku analisis wacana dan framing sering terjebak dalam tindakan 'berbahaya' yaitu menjadikan suatu temuan kasuistis individual sebagai sesuatu yang berlaku umum. Jika terdapat temuan yang melibatkan mahasiswa di suatu universitas, misalnya, maka hal itu juga ditulis seolah-olah berlaku bagi mahasiswa lainnya di universitas lainnya.[6]
4. Analisa tidak ditentukan dari banyaknya detail (Under-Analysis through Spotting)
Suatu analisa wacana menuntut perhatian terhadap detail atau hal-hal kecil dari ucapan atau teks namun tidak berarti besarnya perhatian terhadap aspek detail menjadikan laporan sebagai suatu analisis.
5. Analisa tidak ditentukan dari banyak kutipan (Under-Analysis Through Over-Quotation or Isolated Quotation)
Jumlah kutipan yang diambil dari transkrip tidak boleh terlalu banyak yang dapat mengurangi porsi pandangan atau komentar penulis, tetapi juga tidak boleh terlalu sedikit yang berfungsi hanya sekedar memperkuat pandangan penulis.[7]
KESIMPULAN
1. Penelitian dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penelitian ilmiah yang terdiri atas penelitian kuantatif dan penelitian kualitatif serta penelitian interpretatif.
2. Faktor subyektif dalam penelitian interpretatif hanya boleh dilakukan oleh objek penelitian dan membatasi subjektivitas pada diri peneliti.
3. Analisis wacana dan bingkai lebih merupakan bentuk analisa saja.
SARAN
1. Perlunya sosialisasi terhadap penelitian interpretatif di kalangan dosen dan mahasiswa.
2. Perlunya sosialisasi terhadap perbedaan penelitian interpretatif dengan analisis di kalangan dosen dan mahasiswa.
[1] Robert T Craig, Communication Theory As a Field, Communication Theory 9, 1999.
[2] Untuk mendapatkan paper mereka dapat diakses di http://www.lboro.ac.uk/ departments/ss/centres/ dargindex.htm.
[3] Dalam hal ini, Antaki an Billig hanya menyoroti analisis wacana, namun menurut penulis, analisis bingkai juga dapat dimasukkan kedalamnya.
[4] Sebagaimana dikemukakan Antaki dan Billig: "For our purposes here, however, we mean to warn against the notion that transcription can be a replacement of, or substitute for, analysis. Transcription prepares the data for analysis. However, it is not analysis in itself."
[5] Sebagaimana dikemukakan Antaki dan Billig: "What we do insist upon, however, is that position-taking - whether analysts align themselves with, or critically distance themselves from, the speakers whom they are studying - is not analysis in itself. Sympathy and scolding (either explicit or implicit) are not a substitute for analysis."
[6] Sebagaimana dikemukakan Antaki dan Billig: "It is fatally easy to slip into treating one's findings as if they were true of all members of the category in which one has cast one's respondents."
[7] Sebagaimana dikemukakan Antaki dan Billig "Under-Analysis through Over-Quotation is often revealed by a low ratio of analyst's comments to data extracts. If extract after extract is quoted with only the occasional sentence or paragraph of analyst's comment, then one might suspect this type of under-analysis is happening."
Langganan:
Postingan (Atom)